Minggu, 21 Desember 2008

untuk semua!!!!

PERHATIAN!!!!!!!WALAUPUN BEM ITTELKOM 2008 telah berakhir!!!!!!!!!!!!
harap isi blog ini tetap di perhatikan!!!
ke tidak seringan update blog
akan di minta pertanggungjawaban dari PUSAKA BEM ITTELKOM 2008!!!!!!!
awas yah......klo gak di update!!!!!!!!!!!!

kepengurusan BEM

untuk semua...
kepengurusan BEM 2008 telah berakhir...dengan berakhirnya LPJ BEM 2008
yang telah di laksanakan minggu, 20 desember 2008.....
untuk sahabat2 tercinta....mohon maaf untuk semua kesalahan dan kekurangan yang telah kami lakukan selama ini....
terimakasih untuk semua kerjasama rekan2 semua...
semoga kita tetap bisa menjadi sahabat terindah untuk semua.....
SALAM MAHASISWA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!1

Selasa, 16 Desember 2008

KORUPSI YANG MENGANCAM

9 Desember diperingati sebagai hari anti korupsi sedunia. Namun seberarti apakah hari tersebut untuk diperingati? Bagaimana pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini?
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sbb:
• perbuatan melawan hukum;
• penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
• memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
• merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
• memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
• penggelapan dalam jabatan;
• pemerasan dalam jabatan;
• ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
• menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Kondisi yang mendukung munculnya korupsi
• Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
• Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
• Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
• Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
• Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
• Lemahnya ketertiban hukum.
• Lemahnya profesi hukum.
• Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
• Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
• Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
• Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".
Dari Fakta dan pemaparan diatas, telihat bahwa memang masih banayk sekali kasus korupsi yang belum terselesaikan. seperti yang terjadi pada
Desember200. Hal yang tela dilakukan KPK diantranya:
• 27 Desember - Menetapkan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani H.R. sebagai tersangka dalam kasus korupsi Bandara Loa Kulu yang diperkirakan merugikan negara sebanyak Rp 15,9 miliar. Tribun Kaltim
• 22 Desember - Menahan Bupati Kendal Hendy Boedoro setelah menjalani pemeriksaan Hari Jumat (22/12). Hendy ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi APBD Kabupaten Kendal 2003 hingga 2005 senilai Rp 47 miliar. Selain Hendy, turut pula ditahan mantan Kepala Dinas Pengelola Keuangan Daerah Warsa Susilo. Tempo Interaktif
• 21 Desember - Menetapkan mantan Gubernur Kalimantan Selatan H.M. Sjachriel Darham sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penggunaan uang taktis. Sjachriel Darham sudah lima kali diperiksa penyidik dan belum ditahan. Tempo Interaktif
Tidak ketinggalan, kasuus BLBI yang sangat rumit hingga saat ini. Harapan kita semua tentunya, bangsa ini memiliki orang-orang yang bebas dari korupsi. Dan tidak ada lagi oknum yang mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri. Semoga dengan peringatan hari anti korupsi ini lebih meningkatkan kepekaan kita akan bahaya korupsi dan berupaya bersama untuk membasmi korupsi yang telahmenggerogoti moral bangsa ini.

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG PERNAH TERJADI DI INDONESIA SELAMA ORDE BARU

1965:
1. Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh jendral Angkatan Darat.
2. Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang diduga sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia. Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif dalam kejadian ini.
1966:
1. Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
2. Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan Desember.
3. Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.
1967:
1. Koran- koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.
2. April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta.
3. Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.
1969:
1. Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana.
2. Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
3. Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara seluruh rakyat Papua.
4. Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk partai politik.
1970:
1. Pelarangan demo mahasiswa.
2. Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.
3. Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru.
4. Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.
1971:
1. Usaha peleburan partai- partai.
2. Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta kampanye berat sebelah dari Golkar.
3. Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti rugi yang layak.
4. Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh pemuda- pemuda yang di duga masih ada hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian diadili adalah Sum Kuning sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.
1972:
1. Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung.
1973:
1. Kerusuhan anti Cina meletus di Bandung.
1974:
1. Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaran- pembakaran pada peristiwa Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
2. Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘Indonesia Raya’ pimpinan Muchtar Lubis.
1975:
1. Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.
2. Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.
1977:
1. Tuduhan subversi terhadap Suwito.
2. Kasus tanah Siria- ria.
3. Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik seorang hakim perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim.
4. Kasus subversi komando Jihad.
1978:
1. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
2. Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas berjalannya pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi.
3. Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain Kompas, yang memberitakan peritiwa di atas.
1980:
1. Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke Semarang, Pekalongan dan Kudus.
2. Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan kehidupan mereka dipersulit, dilarang ke luar negri.
1981:
1. Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim radikal di Bangkok. Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.
1982:
1. Kasus Tanah Rawa Bilal.
2. Kasus Tanah Borobudur. Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa Tengah memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai.
3. Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan insiden terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye pemilu di Jakarta. Kampanye massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana militer turun tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.
1983:
1. Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan tertembak secara misterius di muka umum.
2. Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.
1984:
1. Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.
2. Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
3. Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
4. Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur.
1985:
1. Pengadilan terhadap aktivis- aktivis islam terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa.

1986:
1. Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata. Pembunuhan diduga dilakukan oleh mereka yang memiliki akses senjata api dan berbau konspirasi kalangan elit.
2. Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta.
3. Kasus subversi terhadap Sanusi.
4. Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI.
1989:
1. Kasus tanah Kedung Ombo.
2. Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
3. Kasus tanah Kemayoran.
4. Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa Talang sari
5. Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
6. Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi dan penerbitan buku. Anggotanya terdiri beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.
1991:
1. Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda- pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.
1992:
1. Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh perusahaannya Tommy Suharto.
2. Penangkapan Xanana Gusmao.
1993
1. Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993
1994:
1. Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan pemberitaan kapal perang bekas oleh Habibie.
1995:
1. Kasus Tanah Koja.
2. Kerusuhan di Flores.
1996:
1. Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 1996
2. Kasus tanah Balongan.
3. Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara Enim mengenai pencemaran lingkungan.
4. Sengketa tanah Manis Mata.
5. Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka.
6. Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang Pamungkas berkaitan dengan demo di Dresden terhadap pak Harto yang berkunjung di sana.
7. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
8. Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro Megawati pada tanggal 27 Juli.
9. Kerusuhan Sambas – Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Desember 1996.
1997:
1. Kasus tanah Kemayoran.
2. Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di Jawa Timur.
1998:
1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998.
2. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta, dua hari sebelum kerusuhan Mei.
3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14 November 1998 dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I.
1999.
1. Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh. Peritiwa ini terjadi 24 Juli 1999
2. Pembumi hangusan kota Dili, Timor Timur oleh Militer indonesia dan Milisi pro integrasi. Peristiwa ini terjadi pada 24 Agustus 1999.
3. Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga sipil dalam demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Peristiwa Ini terjadi pada 23 – 24 November 1999 dan dikenal sebagai peristiwa Semanggi II.
4. Penyerangan terhadap Rumah Sakit Jakarta oleh pihak keamanan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 Oktober 1999.

Sabtu, 13 Desember 2008

Kasus-Kasus Pelanggaran Berat HAM

Kronologis kejadian Trisakti, Semanggi I dan II

Beberapa kasus pelanggaran berat HAM seperti peristiwa G30S, Tanjung Priok, Warsidi Lampung sampai Kasus Semanggi I dan II kemungkinan bakal digarap KKR. Mungkinkah menuai sukses?

Tragedi Trisakti tanggal 12 Mei 1998 menjadi pemicu kerusuhan sosial yang mencapai klimaksnya pada 14 Mei 1998. Tragedi dipicu oleh menyalaknya senapan aparat yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti.

Kerusuhan, menurut laporan Relawan Kemanusiaan, tidak berlangsung begitu saja. Fakta yang aneh, menurut mereka, setelah terjadi aksi kerusuhan yang sporadis, aparat tampak menghilang, sementara
sebagian kecil saja hanya memandangi aksi penjarahan yang berlangsung didepan mereka.

Masih menurut laporan Relawan, kerusuhan itu tampak direkayasa. Aksi itu dipimpin oleh sekelompok provokator terlatih yang memahami benar aksi gerilya kota. Secara sporadis mereka mengumpulkan dan menghasut massa dengan orasi-orasi. Ketika massa mulai terbakar mereka meninggalkan
kerumunan massa dengan truk dan bergerak ke tempat lain untuk melakukan hal yang sama.

Dari lokasi yang baru, kemudian mereka kembali ke lokasi semula dengan ikut membakar, merampon mal-mal. Sebagian warga yang masih dalam gedung pun ikut terbakar. Data dari Tim Relawan menyebutkan sekurangnya 1190 orang tewas terbakar dan 27 lainnya tewas oleh senjata.

Tragedi Trisakti kemudian disusul oleh tragedi semanggi I pada 13 November 1998. Dalam tragedi itu, unjuk rasa mahasiswa yang dituding mau menggagalkan SI MPR harus berhadapan dengan kelompok
Pam Swakarsa yang mendapat sokongan dari petinggi militer.

Pam Swakarsa terdiri dari tiga kelompok, dari latar belakang yang berbeda. Pembentukan Pam Swakarsa belekangan mendapat respon negatif dari masyarakat. Mereka kemudian mendukung aksi mahasiswa, yang sempat bentrok dengan Pam Swakarsa.

Dalam tragedi Semanggi I yang menewaskan lima mahasiswa, salah satunya Wawan seorang anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan ini, tampak tentara begitu agresif memburu dan menembaki mahasiswa.
Militer dan polisi begitu agresif menyerang mahasiswa, seperti ditayangkan oleh sebuah video
dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR Selasa 6 Maret 2001.

Rekaman itu memperlihatkan bagaimana polisi dan tentara yang berada di garis depan berhadapan dengan aksi massa mahasiswa yang tenang. Pasukan AD yang didukung alat berat militer ini melakukan penembakan bebas ke arah mahasiswa.

Para tentara terus mengambil posisi perang, merangsek, tiarap di sela-sela pohon sambil terus menembaki mahasiswa yang berada di dalam kampus. Sementara masyarakat melaporkan saat itu dari
atap gedung BRI satu dan dua terlihat bola api kecil-kecil meluncur yang diyakini sejumlah
saksi sebagai sniper. Serbuan tembakan hampir berlangsung selama dua jam.

Satu tahun setelah itu, tragedi Semanggi II terjadi. Dalam kasus ini 10 orang tewas termasuk Yun Hap, 22, mahasiswa Fakultas Teknik UI, ikut tewas. Insiden ini terjadi di tengah demonstrasi penolakan mahasiswa terhadap disahkannya RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB).

Kasus ini, menurut Hermawan Sulistyo dari Tim Pencari Fakta Independen menyebut seperti sudah diperkirakan sebelumnya oleh aparat. Dia menurutkan begini; ''Yun Hap ditembak pukul 20:40 oleh
konvoi aparat keamanan yang menggunakan sekurangnya enam truk militer yang mendekat dari arah
Dukuh Atas. Konvoi menggunakan jalan jalur cepat sebelah kanan alias melawan arus. Paling depan tampak mobil pembuka jalan menyalakan lampu sirine tanpa suara. Sejak masuk area jembatan
penyeberangan di depan bank Danamon, truk pertama konvoi mulai menembak. Sejumlah saksi mata
melihat berondongan peluru dari atas truk pertama, menyusul tembakan dari truk-truk berikutnya.''

Berdasarkan fakta di lapangan TPFI menegaskan tidak mungkin ada kendaraan lain selain kendaraan aparat. Sebab, jalur cepat yang dilalui truk-truk itu masih ditutup untuk umum. Lagi pula
truk-truk itu bergerak melawan arus, jadi tidak mungkin ada mobil lain yang mengikuti.

Kini akibat peritiwa itu, sejumlah petinggi TNI Polri sedang diburu hukum. Mereka adalah Jenderal Wiranto (Pangab), Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin (mantan Pangdam Jaya), Irjen (Pol) Hamami
Nata (mantan kapolda Metro Jaya), Letjen Djaja Suparman (mantan Pangdan jaya) dan Noegroho
Djajoesman (mantan Kapolda Metro Jaya).

peringatan HAM

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dimiliki seseorang sejak ia lahir dan merupakan pemberian dari Tuhan. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1
Contoh hak asasi manusia (HAM):
• Hak untuk hidup.
• Hak untuk memperoleh pendidikan.
• Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain.
• Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.
• Hak untuk mendapatkan pekerjaan.
Pada 10 Desember 2008 dunia memperingati Hari HAM internasional yang ke-60.TEMA YANG DIANGKAT ADALAH “Menuju Perwujudan Keadilan HAM dengan Berbasis Pada Pemulihan Martabat Korban Pelanggaran HAM”. Enam puluh tahun silam -- 10 Desember 1948 --, Majelis Umum PBB mendeklarasikan Pernyataan Umum yang dikenal dengan nama Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Melalui deklarasi tersebut masyarakat dunia bersepakat untuk menghormati HAM berdasarkan prinsip non-diskriminasi, kesetaraan, dan pluralisme. Deklarasi ini mewajibkan semua orang, terutama negara yang menandatangani deklarasi tersebut, untuk memajukan penghormatan dan menjamin pelaksanaan HAM yang bersifat universal.
Kondisi yang sangat genting untuk saat ini adalah bagaiman cara mewujudkan “Kepastian Hukum” di Indonesia yang bagaikan mimpi di “siang bolong”. Fakta saat ini menunjukkan bahwa hukum adalah milik penguasa dan elit politik. Hal inilah yang nampaknya sedang terjadi di Negara yang “katanya” demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Azasi Manusia (HAM).
Kasus pembunuhan aktivis HAM (Munir) yang terjadi di pesawat Garuda (GA-974) dalam perjalanan dari Singapura menuju Amsterdam sudah dua tahun berlalu, namun hingga saat ini pemerintah belum mampu mengungkap siapa sesungguhnya “aktor intelektual” di balik peristiwa tersebut. Ironisnya, satu-satunya tersangka (Pollycarpus Budihari Priyanto) yang di duga terlibat dalam peristiwa tersebut, ternyata tidak bisa dibuktikan keterlibatannya oleh pengadilan tertinggi di negeri ini (Mahkamah Agung), padahal pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah diputuskan bahwa Pollycarpus secara sah dan meyakinkan terlibat dalam peristiwa pembunuhan berencana tersebut.
“Apa yang sesungguhnya terjadi dengan hukum kita?”. Semestinya aparatur-aparatur hukum yang katanya “ahli” dalam menggunakan penalaran logika dan silogisme tersebut bisa sampai pada suatu kesimpulan mengenai terlibatnya Pollycarpus. Hal ini mengingat berdasarkan hasil penyidikan pihak kepolisian diketahui bahwa keberadaan Pollycarpus di dalam pesawat pada saat itu tidaklah dalam kapasitas yang wajar dan hal itupun sudah dibuktikan sendiri oleh Mahkamah Agung (MA), yakni melakukan pemalsuan terhadap surat tugas.
Lalu pertanyaan yang seharusnya muncul dalam benak para hakim MA, jika berhati nurani adalah “apakah ada kaitannya, antara pemalsuan surat tugas Pollycarpus dengan peristiwa terbunuhnya Munir?”. Ketiadaan saksi dalam kasus tersebut, bukanlah satu-satunya alasan bagi MA untuk membebaskan Pollycarpus dari tuduhan pembunuhan berencana, kecuali jika terjadi politisasi hukum berupa intervensi-intervensi dari para penguasa dan elit politik tertentu yang berusaha menekan MA untuk membiaskan kasus tersebut, sebagaimana sering terjadi pada kasus-kasus politik lainnya.
Keputusan membebaskan Pollycarpus dari tuduhan pembunuhan berencana oleh MA, merefleksikan pupusnya kepastian hukum yang kita harapkan selama ini. Kekuatan penguasa dan elit politik di Indonesia ternyata lebih dominan, jika dibandingkan dengan kekuatan untuk mewujudkan kepastian hukum (legal certainty). Berdasarkan sejarah, hampir setiap kasus yang berbenturan dengan kekuatan penguasa dan elit politik selalu saja menghilang bagaikan ditelan bumi. Mulai dari kasus penculikan mahasiswa, penembakan mahasiswa, korupsi, hingga kasus terbunuhnya aktivis HAM (Munir), tidak ada satupun yang menemui “titik terang”, semuanya selalu berujung dengan kegelapan dan nampaknya kasus-kasus tersebut hanya akan menjadi bagian dari sejarah kelam buruknya supremasi hukum di Negara ini.
Unsur-unsur yang mendukung “kepastian hukum”
Indonesia yang katanya “negara hukum”, seharusnya bisa dijadikan harapan bagi masyarakatnya dalam mewujudkan “kepastian hukum” di tanah air. Namun, mewujudkan “kepastian hukum” tidaklah sederhana, hal ini merupakan masalah klasik yang selalu dihadapi oleh setiap negara hukum di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut Lawrence M. Friedman (Professor Hukum Stanford University), untuk mewujudkan “kepastian hukum” dalam suatu sistem pemerintahan yang berlandaskan hukum, paling tidak haruslah didukung oleh unsur-unsur sebagai berikut, yakni: (1) substansi hukum, (2) aparatur hukum, dan (3) budaya hukum.
Unsur pertama “substansi hukum” merupakan faktor utama dalam sebuah “negara hukum”. Setiap kasus hukum yang terjadi di Negeri ini, paling tidak harus sudah di atur substansi hukumnya melalui peraturan perundang-undangan, hal ini ditujukan untuk mendorong terwujudnya “kepastian hukum”. Analoginya, dalam kasus pembunuhan aktivis HAM (Munir) yang merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana dimana “substansi hukum” nya sudah kita miliki sejak jaman Belanda, yaitu berupa Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), bisa dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum untuk mendorong terwujudnya “kepastian hukum” di tanah air.
Unsur kedua adalah “aparatur hukum” yang tidak kalah pentingnya dengan “substansi hukum” dalam mendorong terwujudnya “kepastian hukum”. Di Indonesia, aparatur hukumnya terdiri atas: hakim, jaksa, pengacara, dan polisi. Kondisi para aparatur hukum tersebut pada umumnya bisa di intervensi oleh kekuatan-kekuatan tertentu, oleh karena itu sangat sulit bagi kita untuk mencari “kepastian hukum” dalam kasus pembunuhan aktivis HAM (Munir), apalagi semasa hidupnya Munir selalu berbenturan dengan kekuatan-kekuatan penguasa dan elit politik. Namun, jika para aparatur hukum terkait bisa bekerja atas dasar hati nurani yang bersih dan tanpa adanya intervensi, bukanlah tidak mungkin suatu saat nanti “kepastian hukum” bisa diwujudkan di Negeri ini.
Unsur yang terakhir adalah “budaya hukum” yang menjadi pelengkap untuk mendorong terwujudnya “kepastian hukum”. Friedman (American Law, 1984) pernah mengatakan bahwa tegaknya peraturan-peraturan hukum akan sangat bergantung kepada “budaya hukum” masyarakatnya. Budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan. Banyaknya muatan serta kepentingan-kepentingan politik dalam kasus pembunuhan Munir, nampaknya merupakan salah satu pengaruh kuat dari budaya hukum yang menyebabkan sulitnya Negara ini mewujudkan “kepastian hukum”.
Substansi hukum, aparatur hukum serta budaya hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas, idealnya harus di sinergi kan guna mendorong terwujudnya “kepastian hukum“ di negara hukum manapun di dunia ini. Satu sama lain harus memiliki sifat saling ketergantungan (dependency), salah satu unsur saja tidak terpenuhi, “kepastian hukum“ hanya merupakan “bualan” belaka untuk diwujudkan. Dengan melihat realitas hukum yang terjadi dewasa ini, khususnya dalam kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM (Munir), rasanya semakin menunjukkan keyakinan kepada semua pihak mengenai tidak adanya “kepastian hukum“ di negara ini. Pertanyaan yang akan muncul kemudian adalah “sampai kapankah kita akan terus bermimpi untuk mewujudkan “kepastian hukum” di negara yang katanya “negara hukum” ini?”. (sumber: PenulisLepas.com)

Selasa, 02 Desember 2008

PENDIDIKAN untukku, PENDIDIKAN untukmu

Sahabat...pernahkah kita merasakan apa yang tidak dirasakan sahabat-sahabat kita yang lain?? Sekolah contohnya saja. Pernahkan kamu mensyukuri nikmat pendidikan yang dirimu kecap selama ini?? Jika jawabannya masih belum,mari kita simak fakta-fakta tentang dunia pendidikan Indonesia saat ini.

Pendidikan di Indonesia saat ini yang terkesan hanya milik sebagain orang berada,menjadi parameter betapa buruknya sistem pendidikan Indonesia saat ini.
Fakta: setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan anggaran untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN selain gaji guru dan sekolah kedinasan.(pasal 31 UUD’45 ayat 3). namun nyatanya TIDAK.
Salah satu faktor banyak rakyat Indonesia yang tidak mengecap pendidikan disebabkan biaya yang dikeluarkan untuk itu terlalu mahal. Hal ini disebabkan karena belum terealisasinya anggaran yang dikeluarkan. Hinggan tahun 2008 ini anggaran pendidikan sebesar 12% dari APBN diluar gaji guru dan sekolah kedinasan.Besarnya tingkat korupsi di departemen pendidikan akhirnya dana yang dikeluarkan pemerintah pun tidak merata. Akibatnya dana-dana yang dikeluarkan untuk pendidikan amatlah minim. Selain itu ,karena sumber APBN emerintah yang kurang baik (misal penerimaan pajak yang hanya 50% dari jumlah yang harusnya di terima) Akhirnya sektor lain yang dikorbankan diataranya pengeluaran untuk PNS, Perawatan gedung dan fasilitas umum. Hal ini berdampak pada kualitas elemen pendidikan yang buruk.
Jika melihat elemen pendidikan tentu kita perlu memperhatikan pahlawan bangsa yang ada di dalamnya “GURU”. Saat ini guru masih terbentur dengan hal sertifikasi. Seorang guru dinyatakan “valid” jika telah melalui sertifikasi ini, sayangnay dlaam realita, dalam hal sertifikasi pun pada GURU masih dipersulit. Jika tidak ada penyamaan kualitas guru, bagaimana dengan nasib anak bangsa yang akan menjadi penerus berikutnya??
Hal berikutnya yang patut kita soroti adalah permasalahan ujian akhir nasional (UAN). Fakta membuktikan banyaknya tingkat stress yang dialami oleh siswa usia remaja, menjelang dilaksankannya UAS. Selain itu, dalam UAS sendiri ada penyamarataan standar kelulusan. Padahal seperti yang kita tahu bahwa pendidikan yang didapat teman-teman kita di papua dengan daerah Jawa, Bali tentunya berbeda. Hal ini juga mengabaikan otonimi pendidikan. Bukankah dengan adanya UAS juga adanya pengabaian pembelajaran keseharian?lalu apa guna raport??Bagaimana jika kelulusan ditentukan oleh guru? Namun dengan adanya UAS akan ada penyamaan kualitas peserta didik. Dan akan meningkatkan martabat bangsa jika negara ini memilki kualitas anak bangsa yang super.
Sahabat, tentu yang kita harapkan adalah pendidika yang merata, berkualitas dan terjangkau. Tentunya kita semua ingin bahwa tidak hanay beberapa orang yang mampu mengecap pendidikan. Merata diaman pendidikan dapat dirasakan disetiap tempat di Indonesia ini, terjangkau manakala kita tidak lagi merogoh kocek dalam-dalam untukmenadapatkan pendidikan. Berkualitas tentunya kita mengingnkan guru yang mengajar memilki standar yang telah diakui dan kurikulum yang ada telah tidak diragukan lagi dalam hal pencerdasan anak bangsa.