Sabtu, 13 Desember 2008

peringatan HAM

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dimiliki seseorang sejak ia lahir dan merupakan pemberian dari Tuhan. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1
Contoh hak asasi manusia (HAM):
• Hak untuk hidup.
• Hak untuk memperoleh pendidikan.
• Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain.
• Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.
• Hak untuk mendapatkan pekerjaan.
Pada 10 Desember 2008 dunia memperingati Hari HAM internasional yang ke-60.TEMA YANG DIANGKAT ADALAH “Menuju Perwujudan Keadilan HAM dengan Berbasis Pada Pemulihan Martabat Korban Pelanggaran HAM”. Enam puluh tahun silam -- 10 Desember 1948 --, Majelis Umum PBB mendeklarasikan Pernyataan Umum yang dikenal dengan nama Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Melalui deklarasi tersebut masyarakat dunia bersepakat untuk menghormati HAM berdasarkan prinsip non-diskriminasi, kesetaraan, dan pluralisme. Deklarasi ini mewajibkan semua orang, terutama negara yang menandatangani deklarasi tersebut, untuk memajukan penghormatan dan menjamin pelaksanaan HAM yang bersifat universal.
Kondisi yang sangat genting untuk saat ini adalah bagaiman cara mewujudkan “Kepastian Hukum” di Indonesia yang bagaikan mimpi di “siang bolong”. Fakta saat ini menunjukkan bahwa hukum adalah milik penguasa dan elit politik. Hal inilah yang nampaknya sedang terjadi di Negara yang “katanya” demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Azasi Manusia (HAM).
Kasus pembunuhan aktivis HAM (Munir) yang terjadi di pesawat Garuda (GA-974) dalam perjalanan dari Singapura menuju Amsterdam sudah dua tahun berlalu, namun hingga saat ini pemerintah belum mampu mengungkap siapa sesungguhnya “aktor intelektual” di balik peristiwa tersebut. Ironisnya, satu-satunya tersangka (Pollycarpus Budihari Priyanto) yang di duga terlibat dalam peristiwa tersebut, ternyata tidak bisa dibuktikan keterlibatannya oleh pengadilan tertinggi di negeri ini (Mahkamah Agung), padahal pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah diputuskan bahwa Pollycarpus secara sah dan meyakinkan terlibat dalam peristiwa pembunuhan berencana tersebut.
“Apa yang sesungguhnya terjadi dengan hukum kita?”. Semestinya aparatur-aparatur hukum yang katanya “ahli” dalam menggunakan penalaran logika dan silogisme tersebut bisa sampai pada suatu kesimpulan mengenai terlibatnya Pollycarpus. Hal ini mengingat berdasarkan hasil penyidikan pihak kepolisian diketahui bahwa keberadaan Pollycarpus di dalam pesawat pada saat itu tidaklah dalam kapasitas yang wajar dan hal itupun sudah dibuktikan sendiri oleh Mahkamah Agung (MA), yakni melakukan pemalsuan terhadap surat tugas.
Lalu pertanyaan yang seharusnya muncul dalam benak para hakim MA, jika berhati nurani adalah “apakah ada kaitannya, antara pemalsuan surat tugas Pollycarpus dengan peristiwa terbunuhnya Munir?”. Ketiadaan saksi dalam kasus tersebut, bukanlah satu-satunya alasan bagi MA untuk membebaskan Pollycarpus dari tuduhan pembunuhan berencana, kecuali jika terjadi politisasi hukum berupa intervensi-intervensi dari para penguasa dan elit politik tertentu yang berusaha menekan MA untuk membiaskan kasus tersebut, sebagaimana sering terjadi pada kasus-kasus politik lainnya.
Keputusan membebaskan Pollycarpus dari tuduhan pembunuhan berencana oleh MA, merefleksikan pupusnya kepastian hukum yang kita harapkan selama ini. Kekuatan penguasa dan elit politik di Indonesia ternyata lebih dominan, jika dibandingkan dengan kekuatan untuk mewujudkan kepastian hukum (legal certainty). Berdasarkan sejarah, hampir setiap kasus yang berbenturan dengan kekuatan penguasa dan elit politik selalu saja menghilang bagaikan ditelan bumi. Mulai dari kasus penculikan mahasiswa, penembakan mahasiswa, korupsi, hingga kasus terbunuhnya aktivis HAM (Munir), tidak ada satupun yang menemui “titik terang”, semuanya selalu berujung dengan kegelapan dan nampaknya kasus-kasus tersebut hanya akan menjadi bagian dari sejarah kelam buruknya supremasi hukum di Negara ini.
Unsur-unsur yang mendukung “kepastian hukum”
Indonesia yang katanya “negara hukum”, seharusnya bisa dijadikan harapan bagi masyarakatnya dalam mewujudkan “kepastian hukum” di tanah air. Namun, mewujudkan “kepastian hukum” tidaklah sederhana, hal ini merupakan masalah klasik yang selalu dihadapi oleh setiap negara hukum di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut Lawrence M. Friedman (Professor Hukum Stanford University), untuk mewujudkan “kepastian hukum” dalam suatu sistem pemerintahan yang berlandaskan hukum, paling tidak haruslah didukung oleh unsur-unsur sebagai berikut, yakni: (1) substansi hukum, (2) aparatur hukum, dan (3) budaya hukum.
Unsur pertama “substansi hukum” merupakan faktor utama dalam sebuah “negara hukum”. Setiap kasus hukum yang terjadi di Negeri ini, paling tidak harus sudah di atur substansi hukumnya melalui peraturan perundang-undangan, hal ini ditujukan untuk mendorong terwujudnya “kepastian hukum”. Analoginya, dalam kasus pembunuhan aktivis HAM (Munir) yang merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana dimana “substansi hukum” nya sudah kita miliki sejak jaman Belanda, yaitu berupa Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), bisa dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum untuk mendorong terwujudnya “kepastian hukum” di tanah air.
Unsur kedua adalah “aparatur hukum” yang tidak kalah pentingnya dengan “substansi hukum” dalam mendorong terwujudnya “kepastian hukum”. Di Indonesia, aparatur hukumnya terdiri atas: hakim, jaksa, pengacara, dan polisi. Kondisi para aparatur hukum tersebut pada umumnya bisa di intervensi oleh kekuatan-kekuatan tertentu, oleh karena itu sangat sulit bagi kita untuk mencari “kepastian hukum” dalam kasus pembunuhan aktivis HAM (Munir), apalagi semasa hidupnya Munir selalu berbenturan dengan kekuatan-kekuatan penguasa dan elit politik. Namun, jika para aparatur hukum terkait bisa bekerja atas dasar hati nurani yang bersih dan tanpa adanya intervensi, bukanlah tidak mungkin suatu saat nanti “kepastian hukum” bisa diwujudkan di Negeri ini.
Unsur yang terakhir adalah “budaya hukum” yang menjadi pelengkap untuk mendorong terwujudnya “kepastian hukum”. Friedman (American Law, 1984) pernah mengatakan bahwa tegaknya peraturan-peraturan hukum akan sangat bergantung kepada “budaya hukum” masyarakatnya. Budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan. Banyaknya muatan serta kepentingan-kepentingan politik dalam kasus pembunuhan Munir, nampaknya merupakan salah satu pengaruh kuat dari budaya hukum yang menyebabkan sulitnya Negara ini mewujudkan “kepastian hukum”.
Substansi hukum, aparatur hukum serta budaya hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas, idealnya harus di sinergi kan guna mendorong terwujudnya “kepastian hukum“ di negara hukum manapun di dunia ini. Satu sama lain harus memiliki sifat saling ketergantungan (dependency), salah satu unsur saja tidak terpenuhi, “kepastian hukum“ hanya merupakan “bualan” belaka untuk diwujudkan. Dengan melihat realitas hukum yang terjadi dewasa ini, khususnya dalam kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM (Munir), rasanya semakin menunjukkan keyakinan kepada semua pihak mengenai tidak adanya “kepastian hukum“ di negara ini. Pertanyaan yang akan muncul kemudian adalah “sampai kapankah kita akan terus bermimpi untuk mewujudkan “kepastian hukum” di negara yang katanya “negara hukum” ini?”. (sumber: PenulisLepas.com)

Tidak ada komentar: