Selasa, 24 Juni 2008

What do u know about “Mafia Peradilan”?

Mungkin telah menjadi rahasia umum tentang kinerja penegak keadilan dinegri ini,tapi tahukah kalian ada apa dibalik ini semua??mari kita saksikan uraian berikut…

Istilah “mafia peradilan” mulai dikenal sejak tahun 1970-an. Dalam Pelatihan Anti Mafia Peradilan yang diselenggarakan KP2KKN dirumuskan definisi mafia peradilan sebagai “perbuatan yang bersidat sistematis, konspiratif, kolektif, dan terstruktur yang dilakukan oleh aktor tertentu (aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan) untuk memenangkan kepentingannya melalui penyalahgunaan wewenang, kesalahan administrasi dan perbuatan melawan hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum sehingga menyebabkan rusaknya system hukum dan tidak terpenuhinya rasa keadilan.

Keadialn di bumi pertiwi yang kita cintai ini memang antara ada dan tiada.Kegiatan mafia peradilan secara yuridis sangat kental dengan tindak pidana korupsi sebagai mana diatur di dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Misalnya, ketika seorang hakim menerima suap untuk merekayasa putusan, maka hal itu dapat dijerat menggunakan pasal 12 C UU No.31 tahun 1999 jo. UU. No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor dan diancam pidana penjara seumur hidup atau pidana pernjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Modus operandi mafia peradilan ibarat transaksi jual-beli. Penjual pihak yang mempunyai kewenangan, sedangkan pembeli kelompok yang membutuhkan kemenangan dalam suatu proses hukum. Penjual, misalnya, adalah hakim yang memutuskan perkara, dan pembeli adalah terdakwa yang membutuhkan putusan bebas.

Dalam praktek jual-beli tersebut, posisi panitera, pegawai pengadilan, dan advokat hanyalah makelar perkara. Sebagai calo, mereka hanya berfungsi sebagai penghubung negosiasi antara penjual dan pembeli. Ibarat makelar jual-beli tanah, mereka hanya mendapat komisi dari transaksi jual-beli. Tanah akan langsung dinikmati oleh pembeli, sedangkan penjual akan mendapatkan sebagian besar uang hasil jual-beli.

Mafia dalam aparat pengadilan diduga lebih marak di bawah kepemimpinan Bagir Manan seperti diungkap Wakil Ketua Kerukunan Keluarga Purnbhakti Hakim Agung (KKPHA) Benjamin Mangkoedilaga. Pendapat ini didukung Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) juga anggota DPR Benny K Harman (Kompas, 22/8/2007).

Reformasi telah berjalan 10 tahun, masih ingatkah kalian akan agenda reformasi?? Namun tragis "mafia peradilan" justru lebih marak terjadi pascareformasi, mengapa demikian?

Pertama, kewenangan (baca: kekuasaan) hakim menguat atau meningkat seiring dengan berkurangnya intervensi pemerintah atas proses pengadilan. Pandangan Lord Action, "kekuasaan cenderung korup" (power is tend corrupt), tampaknya sulit dihindarkan. Aparat pengadilan lebih leluasa "mengatur" perkara tanpa perlu mendasarkan kepada bukti-bukti yang menguatkan dalam merancang putusan.

Kedua, adanya kewenangan yang lebih independen itu tidak didukung dengan undang-undang yang ketat atas operasi kekuasaan kehakiman. Para hakim agung dengan gampang dapat memperpanjang usia pensiunnya sendiri, bahkan tanpa perlu menunjukkan apa prestasinya, sementara perkara di MA justru menumpuk. Draf putusan hakim pun bisa "dijual" kepada pihak yang berperkara.

Ketiga, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga masih lemah secara prinsip karena tak menggunakan pembuktian terbalik. Dari mana sumber kekayaan hakim tak dapat diperiksa atau ditelusuri sejauh tak ada indikasi kuat atas tindak pidana yang ditangani aparat penegak hukum. Kasus suap Probosutedjo, yang diduga melibatkan hakim agung, kini praktis berhenti tanpa penjelasan dari KPK.

Keempat, fungsi pengawasan yang dijalankan Komisi Yudisial saat memantau perilaku hakim dalam menangani perkara, yang terungkap justru tidak bersifat untuk ditindaklanjuti. Bahkan dengan mudah fungsi Komisi Yudisial dibalas dengan tuduhan "mencemarkan nama baik" oleh sejumlah hakim. Seolah fungsi Komisi Yudisisal dinilai sebagai lembaga yang merusak citra korps hakim.

Jelas, ini adalah kebohongan yang telah berakar lama, rekan-rekan sekalain apakah kita akan diam saja melihat kejadian ini? Kaum muda yang katanya harus mencontoh kaum yang lebih senior, ternyata kaum senior itu belum dapat memberikan contoh yang pantas untuk ditiru. Mahasiswa adalah agent of change rekan-rakan sekalian, untuk itu mari bersama untuk merubah kadaan ini menuju kebangkitan Indonesia seutuhnya…Salam Mahasiswa!!!…(red-pusaka)

Tidak ada komentar: